Selasa, 04 Agustus 2009

Kebahagiaan dalam Sebiji Badam

Tubuh kita telah dirancang untuk mengalami berbagai perasaan, termasuk juga kebahagiaan. Cobalah untuk berjalan dan ambil (semisal) secangkir teh di atas meja kamar atau dapur. Berjalan perlahan, perhatikan bagaimana langkah kaki itu bergerak, tangan menyeimbangkan, mata memperhatikan. Kulit dan rambut merasakan gesekkannya dengan udara. Bahkan salah satu bagian di kepala kita berusaha agar kita tak sempoyongan. Dan itu semua takkan terjadi jika otak kita tak berkehendak atau tenggorokan dan perut tak mengatakan bahwa kita tengah haus. Satu tindakan sederhana yang sesungguhnya teramat rumit.

Lalu perhatikan bagaimana Anda melangkah dan mencari tempat di mana harus duduk, menyeruput sedikit demi sedikit, menghirup aromanya, lalu berbagai sensorik di tubuh menyampaikan dan menyimpulkan kepada otak Anda bahwa itu adalah teh melati yang hangat dan manis. Perasaan Anda mengatakan, “Anda menyukainya.” Jika Anda merasa nyaman, maka Anda mendapat perasaan dari pengalaman minum teh itu. Tahukah Anda di mana perasaan itu “berada”? Ia “ada” di salah satu sudut otak kita, ia sebesar biji badam (kacang almond), bernama amigdala.

Sedih, senang, kecewa, marah, yang semuanya adalah respon amigdala. Ia bekerja berdasar pesan dan asosiasi. Ia merespon berbagai pesan dari luar (eksternal—teh) tapi tak sedikit pula respon dari berbagai interpretasi, rekayasa, dan dugaan pikiran-pikiran kita (internal). Sedih, senang, kecewa, marah, adalah hasil interpretasi dan reflek dari amigdala.

Dan kemudian betapa sering kita melupakan ada tidaknya amigdala kita. Kita lupa mengatakan syukur karena keberadaan amigdala untuk kenyamanan, sensorik di lidah untuk manis, kulit, kekuatan kaki, atau bagian otak sebesar biji beras di dekat telinga agar kita tak berjalan sempoyongan. Benar adanya orang bijak mengatakan tak perlu jauh-jauh mencari keluar, kebahagiaan itu ada di dekat kita. Bahkan seringkali lebih dekat dari urat leher kita. Tuhan Sang Pencipta Jiwa.

Kebahagiaan banyak sekali muncul karena fungsi-fungsi tubuh kita masih sehat. Tapi seringkali kita lupa untuk berterima kasih bahwa kita menikmati itu semua karena kita mempunyai tubuh. Tempat ruh kita menumpang. Kita seringkali lupa berterima kasih pada amigdala dan kawan-kawannya lantaran kita memang seringkali lupa pada diri sendiri.

Banyak hal sederhana yang bisa membangkitkan kebahagiaan. Tapi sayang, begitu asing diri ini pada jiwa sendiri. Terlalu asing diri ini pada tubuh sendiri. Betapa luarbiasanya tubuh kita hidup, dan betapa sedikit kita memberi perhatian. Pun begitu bagi jiwa, betapa sering ia mencari keluar, padahal mutiara itu ada di dalam.

Amigdala dan kawan-kawan hanyalah sedikit bukti betapa kita begitu sempurna diciptakan. Karena siapapun tahu bahwa kita dulu tak lebih dari air hina yang dipancarkan lalu Allah menyempurnakan ciptaan-Nya. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun, dan Allah memberi pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (QS. An-Nahl: 78). Allah menciptakan tak lebih agar kita memperoleh kebaikan dan bahagia. Kebahagiaan yang penuh makna. Kebahagiaan sesungguhnya, yang sebesar ‘biji badam’ itu, bernama syukur. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih apresiasinya.... :)