Selasa, 18 Agustus 2009

Teroris Media yang Miris

apa yang Anda rasakan ketika menonton aksi pengerusakan, tawuran, atawa penggerebekan?

praktis denyut jantung Anda meningkat, aliran darah mengalir cepat, dan kemarahan menanjak. Tahukah Anda ekspos media saat ini demikian merisaukan sekaligus tak mendidik?

Ketika Anda menonton penggerebekan rampok atau paling mudah yang terakhir, penggerebekan teroris paling 'bodoh' (maaf) yang pernah saya lihat, yang kemudian Anda rasakan adalah hanyut dalam kebencian terhadap objek.

Anda akan mendengarkan banyak caci maki dari mereka yang nonton bareng. Penonton dikondisikan dalam stress dan keadaan ini berlangsung selama suasana duka. Anda akan terpicu untuk ikut membenci, Anda akan terseret dalam arus perasaan negatif yang tak sehat. Maka, tidak heran banyak orang mengatakan malas membaca atau menonton berita di media, membahasnya, apalagi yang vulgar, karena merasa korban dijadikan obyek saja dan terus diingatkan pada kejadian menekan.

Aktivitas intel kepolisian kita memang patut diacungi jempol, hingga mampu 'meniteni' lokasi teroris terakhir. Tapi endingnya mengecewakan, bukan hanya Noordin yang tak tertangkap tetapi juga cara mereka memerangi Mr.X di dalam. Well, Densus 88 terkesan pengecut, tak terampil.

Seharusnya mereka tahu berapa orang yang di dalam, dan apa tindakan selanjutnya. Yang ada, tembakan membabi buta, padahal situasi sudah jelas (karena teknologi robot). Memerangi teroris dengan cara seperti ini menghabiskan energi penonton. Anda bayangkan 12 jam lebi non stop!

Kalau mau dicari matinya, kenapa tak lantas di bom saja itu rumah? Toh akhirnya polisi pakai cara "hajar bleh" pakai pistol tanpa arah persis seperti teroris juga. Di bom tak perlu menguras energi negatif penonton selama 12 jam lebih.

Tayangan-tayangan semacam ini hanya akan membangkitkan kebencian, permusuhan, adu domba, dan saling mencurigai dalam tubuh umat. Orang pakai cadar, dibilang istri teroris. Pakai jenggot disebut calon teroris.

Padahal Profesor Sarlito pernah berpendapat di Kompas, bahwa mereka--para teroris itu--tak seharusnya dibenci. Sebab teroris itu juga bekerja atas dasar kebencian terhadap Amerika dan Israel, Ketidakadilan Global, plus perasaan rendah diri tentang keadaan umat Islamnya. Kalau begitu, apa bedanya kita dengan mereka?

Kebanyakan mereka juga justru orang yang baik, taat beragama, peduli dengan keluarga, bahkan membawa perubahan di penjara. Mereka hanya orang-orang yang salah jalan, salah ijtihad. Mereka korban cuci otak kaidah pemahaman Al-Qaidah, organisasi misterius dengan Osama yagn juga misterius (Syaikh, bukan Ulama juga bukan. Konon Osama adalah mantan agen CIA). Kita membenci perbuatannya, tapi tidak membenci orangnya, apalagi main stigma.

Dan media tampaknya harus punya kejelian yang lebih, dalam hal inteligen psikologi massa. Intelijen media ini penting untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan pre dan post penayangan. Sebagaimana profesional jurnalistik yang beretika. Semoga saja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih apresiasinya.... :)