Jumat, 21 Agustus 2009

Duhai Allah, Ramadhan-kan Hamba...

Ya Allah, Ramadhan ini... Tasbih ini
Tarawih ini
Sahur kami ini
Tilawah kami
Ikhtiar terhadap diri ini
Lapar dan haus kami
Pandangan mata kami
Pendengaran dan ucapan kami
Lemas kami
Kesturi kami yang Kau janjikan
Kedekatan hati kami
Cinta di hati kami
Peduli kami ini

Ya, Allah semua keindahan ini
semua yang Engkau Perindah di diri kami
Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa' fu'anna...

Ya Allah, Robb kami
untuk setiap orang yang Engkau cintai
setiap orang yang meminta afuw.. yang meminta maaf kepada-Mu
kuatkanlah, tetapkanlah dalam sayang-Mu Robbi...

Ya Allah, Yang Menguasai Jiwa kami
Perindahlah hati kami
Akhlak kami
Ucapan dan perbuatan kami

Wahai Robb, rumah perasaan kami ini
Buatlah diri ini nyaman dalam kamar-kamar perasaan kami
Buatlah diri ini menikmati tanpa pilih di setiap ruangnya

Kamar kesedihan kami
Biarkan kami masuk dan tunduk dalam kesedihan
Dalam kegelapan tafakur di sini
Dan semakin besar kerinduan kepada-Mu, Allah

Kamar Kebahagiaan kami
Biarkan kami tetap melihat cahaya
Dalam cerahnya syukur yang dirasa
Dan semakin besar kecintaan kepada-Mu, Robbi

Kamar kesenangan kami
Biarkan Ya ALlah, tanganMu yang lembut merengkuhku
Dalam hangat cinta-Mu
Dalam kesenangan bersama-Mu
Buatlah hati kami merindu-Mu

Robbi, jika Engkau mengizinkan kami bertemu dalam Takbir-Mu
Jadikanlah hamba sesuci fitrah dari-Mu
Dan setiap hembusan nafas ini...
Ramadhan-kan selamanya hati hamba
Untuk cinta-Mu
Untuk orang-orang yang mencintai-Mu
Untuk orang-orang yang membuat hamba mencintai-Mu

Amin, Duhai Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang


(ichsan's August, 2009)

Selasa, 18 Agustus 2009

Teroris Media yang Miris

apa yang Anda rasakan ketika menonton aksi pengerusakan, tawuran, atawa penggerebekan?

praktis denyut jantung Anda meningkat, aliran darah mengalir cepat, dan kemarahan menanjak. Tahukah Anda ekspos media saat ini demikian merisaukan sekaligus tak mendidik?

Ketika Anda menonton penggerebekan rampok atau paling mudah yang terakhir, penggerebekan teroris paling 'bodoh' (maaf) yang pernah saya lihat, yang kemudian Anda rasakan adalah hanyut dalam kebencian terhadap objek.

Anda akan mendengarkan banyak caci maki dari mereka yang nonton bareng. Penonton dikondisikan dalam stress dan keadaan ini berlangsung selama suasana duka. Anda akan terpicu untuk ikut membenci, Anda akan terseret dalam arus perasaan negatif yang tak sehat. Maka, tidak heran banyak orang mengatakan malas membaca atau menonton berita di media, membahasnya, apalagi yang vulgar, karena merasa korban dijadikan obyek saja dan terus diingatkan pada kejadian menekan.

Aktivitas intel kepolisian kita memang patut diacungi jempol, hingga mampu 'meniteni' lokasi teroris terakhir. Tapi endingnya mengecewakan, bukan hanya Noordin yang tak tertangkap tetapi juga cara mereka memerangi Mr.X di dalam. Well, Densus 88 terkesan pengecut, tak terampil.

Seharusnya mereka tahu berapa orang yang di dalam, dan apa tindakan selanjutnya. Yang ada, tembakan membabi buta, padahal situasi sudah jelas (karena teknologi robot). Memerangi teroris dengan cara seperti ini menghabiskan energi penonton. Anda bayangkan 12 jam lebi non stop!

Kalau mau dicari matinya, kenapa tak lantas di bom saja itu rumah? Toh akhirnya polisi pakai cara "hajar bleh" pakai pistol tanpa arah persis seperti teroris juga. Di bom tak perlu menguras energi negatif penonton selama 12 jam lebih.

Tayangan-tayangan semacam ini hanya akan membangkitkan kebencian, permusuhan, adu domba, dan saling mencurigai dalam tubuh umat. Orang pakai cadar, dibilang istri teroris. Pakai jenggot disebut calon teroris.

Padahal Profesor Sarlito pernah berpendapat di Kompas, bahwa mereka--para teroris itu--tak seharusnya dibenci. Sebab teroris itu juga bekerja atas dasar kebencian terhadap Amerika dan Israel, Ketidakadilan Global, plus perasaan rendah diri tentang keadaan umat Islamnya. Kalau begitu, apa bedanya kita dengan mereka?

Kebanyakan mereka juga justru orang yang baik, taat beragama, peduli dengan keluarga, bahkan membawa perubahan di penjara. Mereka hanya orang-orang yang salah jalan, salah ijtihad. Mereka korban cuci otak kaidah pemahaman Al-Qaidah, organisasi misterius dengan Osama yagn juga misterius (Syaikh, bukan Ulama juga bukan. Konon Osama adalah mantan agen CIA). Kita membenci perbuatannya, tapi tidak membenci orangnya, apalagi main stigma.

Dan media tampaknya harus punya kejelian yang lebih, dalam hal inteligen psikologi massa. Intelijen media ini penting untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan pre dan post penayangan. Sebagaimana profesional jurnalistik yang beretika. Semoga saja...

Doa

Allah... Engkau Maha Tahu apa yang tengah ku hadapi...
Engkau tengah mempersiapkan ku untuk anugerah-Mu

Maka, tambahkanlah juga kesabaran itu Robb.
Buatlah aku layak untuk kejutan-Mu,
untuk keajaibanMu,
untuk cintaMu

Engkau yang mempermudah apa-apa yang sulit
Engkau yang mengganti cinta menjadi benci
Engkau yang menguasai segala kuasa
Engkau pula yang menguasai jiwa kami
Engkau pula yang menjadikan kami ikhtiar kepada-Mu

Buatlah pengalaman ini, kesedihan ini, kebahagiaan ini sebagai pintu syukur yang mendalam wahai sebaik-baik Yang Mensyukuri... AMIN

Selasa, 04 Agustus 2009

'Pelajaran' dari Mereka yang Disebut 'Teroris'


bikin geger.. tapi teror tetaplah teror. Seperti yang dikatakan Goenawan, ia akan mati karena tak punya harapan.

Mereka yang disebut 'teroris', melakukan untuk sesuatu yang ada di kepala mereka. Mereka melakukan dan berkorban untuk apa yang menjadi keyakinan mereka. Katakanlah keyakinan akan surga, misi jihad, atau apapun bagi mereka sebut sebagai solidaritas sesama muslim, perjuangan pembebasan, dan nilai-nilai luhur lainnya.

Anda bisa bayangkan, orang akan rela melakukan apapun untuk sesuatu yang dianggap luhur. Cinta, solidaritas, keimanan, atau apapun yang manusia anggap luhur--seberapapun keliru caranya. Orang berani rela bunuh diri karena pacar ('cinta'), pelajar bisa tawuran atas dasar 'solidaritas', dan suicide bomber bisa berbuat itu atas dasar 'ibadah'.

Bukan pula rahasia umum bahwa para pelaku bom di Indonesia adalah 'alumni' mujahidin afghanistan. Mereka yang rela meninggalkan keluarga, tanah air, kekayaan mereka untuk sebuah semangat membela saudaranya. Ketahuilah, mereka punya kemampuan itu, mereka punya senjata itu. Mereka ingin nilai luhur syahid, keluhuran nilai hidup yang dominan di kepala mereka.

Sedangkan polisi, pemerintah, atau tentara kita? Politisinya? Pendidikannya? Atas dasar apa berbuat? Atas keluhuran apa mereka bekerja? Sayapun jadi teringat rupiah sejumlah 60 juta, 100 juta, 200 juta untuk menjadi PNS, polisi, atau jaksa di sebuah provinsi. Saya jadi teringat hipokritnya lembaga pendidikan pesantren tertentu menjual suara santrinya untuk calon gubernur tertentu, calon presiden tertentu, atau parpol tertentu. Saya jadi malu seribuan rupiah, dua ribuan lusuh untuk masjid, sementara 50-100 ribu wangi untuk Starbucks dan makanan anjing. Saya jadi bingung 80% muslim yang zakatnya tak mampu memberantas kemiskinan, bahkan minoritas secara ekonomi. Sayapun jadi heran polah 'muslim liberalist' yang tak pernah beranjak dari membela minoritas umat dari sisi jumlah kepada pembelaan minoritas umat dari sisi ekonomi.

Di sisi lain, saya jadi teringat betapa mirisnya nasib segelintir orang yang ingin mewujudkan keberagamaan yang baik, atau menjadikan agama sebagai panglima mereka, lalu menjadi terasing diantara lautan kemaksiatan massal di masyarakat. Saya jadi teringat betapa terpinggirkannya orang-orang itu hingga kemarahan mereka menjadi kekerasan, lalu dimanfaatkan pihak lain, dan meledak menjadi musibah karena mereka tak tahu cara lain mewujudkan cita-citanya. Karena tak ada pihak lain yang peduli pada cita-cita mereka. Saya yakin, mereka adalah orang-orang yang frustrasi.

Dan tampaknya kita memang perlu belajar dari 'teroris' itu, terlepas dari keliru dan kejamnya cara mereka. Tentang berbuat atas dasar apa yang ada di kepala. Bukan untuk perut, semangat untuk memiliki bukan memberi, atau karena gaji, jabatan, uang damai, dan beberapa kebiasaan buruk itu. Karena polisi dan pemerintah kita takkan berdaya menghadapi mereka jika tak mulai meninggikan nilai-nilai luhur di kepala. Seberapapun canggih senjata dan pertahanan kita.

Kita terancam musibah yang lebih besar lagi. Karena bahaya itu kita yang mulai; WAHN. Cinta dunia takut mati. inna lillahi wa inna ilaihi raji'un...

Meskipun begitu, saya masih bertahan memimpikan nilai-nilai luhur itu. KEDAMAIAN, KESEDERHANAAN, KEADILAN, KESEJAHTERAAN. Saya memimpikan kita semua berbuat atas dasar itu; CINTA, SOLIDARITAS, KEPEDULIAN. Saya memimpikan pemimpin yang punya keluhuran KEBIJAKSANAAN, KEADILAN. Saya menginginkan pegawai dan aparat yang berbuat atas dasar KEJUJURAN, IHSAN (profesional), PELAYANAN. Saya yakin, kita akan sampai... Kita akan "meledak", dengan semangat yang sama, tapi dengan prestasi. Jangan kalah dengan 'teroris' itu.

Sekali lagi, berbuatlah untuk apa yang ada di kepala kita. Bukan untuk perut alias nafsu kita. Karena niatmu adalah kesejatian dirimu...

wallahu a'lam wastaghfirullah.

Duka Cita

Selamat jalan Mbah Surip...

Anda menawarkan banyak kebaikan, kejenakaan, kesederhanaan, kejujuran.

Semoga amal Anda diterima di sisi-Nya... Amin.

Kebahagiaan dalam Sebiji Badam

Tubuh kita telah dirancang untuk mengalami berbagai perasaan, termasuk juga kebahagiaan. Cobalah untuk berjalan dan ambil (semisal) secangkir teh di atas meja kamar atau dapur. Berjalan perlahan, perhatikan bagaimana langkah kaki itu bergerak, tangan menyeimbangkan, mata memperhatikan. Kulit dan rambut merasakan gesekkannya dengan udara. Bahkan salah satu bagian di kepala kita berusaha agar kita tak sempoyongan. Dan itu semua takkan terjadi jika otak kita tak berkehendak atau tenggorokan dan perut tak mengatakan bahwa kita tengah haus. Satu tindakan sederhana yang sesungguhnya teramat rumit.

Lalu perhatikan bagaimana Anda melangkah dan mencari tempat di mana harus duduk, menyeruput sedikit demi sedikit, menghirup aromanya, lalu berbagai sensorik di tubuh menyampaikan dan menyimpulkan kepada otak Anda bahwa itu adalah teh melati yang hangat dan manis. Perasaan Anda mengatakan, “Anda menyukainya.” Jika Anda merasa nyaman, maka Anda mendapat perasaan dari pengalaman minum teh itu. Tahukah Anda di mana perasaan itu “berada”? Ia “ada” di salah satu sudut otak kita, ia sebesar biji badam (kacang almond), bernama amigdala.

Sedih, senang, kecewa, marah, yang semuanya adalah respon amigdala. Ia bekerja berdasar pesan dan asosiasi. Ia merespon berbagai pesan dari luar (eksternal—teh) tapi tak sedikit pula respon dari berbagai interpretasi, rekayasa, dan dugaan pikiran-pikiran kita (internal). Sedih, senang, kecewa, marah, adalah hasil interpretasi dan reflek dari amigdala.

Dan kemudian betapa sering kita melupakan ada tidaknya amigdala kita. Kita lupa mengatakan syukur karena keberadaan amigdala untuk kenyamanan, sensorik di lidah untuk manis, kulit, kekuatan kaki, atau bagian otak sebesar biji beras di dekat telinga agar kita tak berjalan sempoyongan. Benar adanya orang bijak mengatakan tak perlu jauh-jauh mencari keluar, kebahagiaan itu ada di dekat kita. Bahkan seringkali lebih dekat dari urat leher kita. Tuhan Sang Pencipta Jiwa.

Kebahagiaan banyak sekali muncul karena fungsi-fungsi tubuh kita masih sehat. Tapi seringkali kita lupa untuk berterima kasih bahwa kita menikmati itu semua karena kita mempunyai tubuh. Tempat ruh kita menumpang. Kita seringkali lupa berterima kasih pada amigdala dan kawan-kawannya lantaran kita memang seringkali lupa pada diri sendiri.

Banyak hal sederhana yang bisa membangkitkan kebahagiaan. Tapi sayang, begitu asing diri ini pada jiwa sendiri. Terlalu asing diri ini pada tubuh sendiri. Betapa luarbiasanya tubuh kita hidup, dan betapa sedikit kita memberi perhatian. Pun begitu bagi jiwa, betapa sering ia mencari keluar, padahal mutiara itu ada di dalam.

Amigdala dan kawan-kawan hanyalah sedikit bukti betapa kita begitu sempurna diciptakan. Karena siapapun tahu bahwa kita dulu tak lebih dari air hina yang dipancarkan lalu Allah menyempurnakan ciptaan-Nya. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun, dan Allah memberi pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (QS. An-Nahl: 78). Allah menciptakan tak lebih agar kita memperoleh kebaikan dan bahagia. Kebahagiaan yang penuh makna. Kebahagiaan sesungguhnya, yang sebesar ‘biji badam’ itu, bernama syukur. Wallahu a’lam