Selasa, 04 Agustus 2009

'Pelajaran' dari Mereka yang Disebut 'Teroris'


bikin geger.. tapi teror tetaplah teror. Seperti yang dikatakan Goenawan, ia akan mati karena tak punya harapan.

Mereka yang disebut 'teroris', melakukan untuk sesuatu yang ada di kepala mereka. Mereka melakukan dan berkorban untuk apa yang menjadi keyakinan mereka. Katakanlah keyakinan akan surga, misi jihad, atau apapun bagi mereka sebut sebagai solidaritas sesama muslim, perjuangan pembebasan, dan nilai-nilai luhur lainnya.

Anda bisa bayangkan, orang akan rela melakukan apapun untuk sesuatu yang dianggap luhur. Cinta, solidaritas, keimanan, atau apapun yang manusia anggap luhur--seberapapun keliru caranya. Orang berani rela bunuh diri karena pacar ('cinta'), pelajar bisa tawuran atas dasar 'solidaritas', dan suicide bomber bisa berbuat itu atas dasar 'ibadah'.

Bukan pula rahasia umum bahwa para pelaku bom di Indonesia adalah 'alumni' mujahidin afghanistan. Mereka yang rela meninggalkan keluarga, tanah air, kekayaan mereka untuk sebuah semangat membela saudaranya. Ketahuilah, mereka punya kemampuan itu, mereka punya senjata itu. Mereka ingin nilai luhur syahid, keluhuran nilai hidup yang dominan di kepala mereka.

Sedangkan polisi, pemerintah, atau tentara kita? Politisinya? Pendidikannya? Atas dasar apa berbuat? Atas keluhuran apa mereka bekerja? Sayapun jadi teringat rupiah sejumlah 60 juta, 100 juta, 200 juta untuk menjadi PNS, polisi, atau jaksa di sebuah provinsi. Saya jadi teringat hipokritnya lembaga pendidikan pesantren tertentu menjual suara santrinya untuk calon gubernur tertentu, calon presiden tertentu, atau parpol tertentu. Saya jadi malu seribuan rupiah, dua ribuan lusuh untuk masjid, sementara 50-100 ribu wangi untuk Starbucks dan makanan anjing. Saya jadi bingung 80% muslim yang zakatnya tak mampu memberantas kemiskinan, bahkan minoritas secara ekonomi. Sayapun jadi heran polah 'muslim liberalist' yang tak pernah beranjak dari membela minoritas umat dari sisi jumlah kepada pembelaan minoritas umat dari sisi ekonomi.

Di sisi lain, saya jadi teringat betapa mirisnya nasib segelintir orang yang ingin mewujudkan keberagamaan yang baik, atau menjadikan agama sebagai panglima mereka, lalu menjadi terasing diantara lautan kemaksiatan massal di masyarakat. Saya jadi teringat betapa terpinggirkannya orang-orang itu hingga kemarahan mereka menjadi kekerasan, lalu dimanfaatkan pihak lain, dan meledak menjadi musibah karena mereka tak tahu cara lain mewujudkan cita-citanya. Karena tak ada pihak lain yang peduli pada cita-cita mereka. Saya yakin, mereka adalah orang-orang yang frustrasi.

Dan tampaknya kita memang perlu belajar dari 'teroris' itu, terlepas dari keliru dan kejamnya cara mereka. Tentang berbuat atas dasar apa yang ada di kepala. Bukan untuk perut, semangat untuk memiliki bukan memberi, atau karena gaji, jabatan, uang damai, dan beberapa kebiasaan buruk itu. Karena polisi dan pemerintah kita takkan berdaya menghadapi mereka jika tak mulai meninggikan nilai-nilai luhur di kepala. Seberapapun canggih senjata dan pertahanan kita.

Kita terancam musibah yang lebih besar lagi. Karena bahaya itu kita yang mulai; WAHN. Cinta dunia takut mati. inna lillahi wa inna ilaihi raji'un...

Meskipun begitu, saya masih bertahan memimpikan nilai-nilai luhur itu. KEDAMAIAN, KESEDERHANAAN, KEADILAN, KESEJAHTERAAN. Saya memimpikan kita semua berbuat atas dasar itu; CINTA, SOLIDARITAS, KEPEDULIAN. Saya memimpikan pemimpin yang punya keluhuran KEBIJAKSANAAN, KEADILAN. Saya menginginkan pegawai dan aparat yang berbuat atas dasar KEJUJURAN, IHSAN (profesional), PELAYANAN. Saya yakin, kita akan sampai... Kita akan "meledak", dengan semangat yang sama, tapi dengan prestasi. Jangan kalah dengan 'teroris' itu.

Sekali lagi, berbuatlah untuk apa yang ada di kepala kita. Bukan untuk perut alias nafsu kita. Karena niatmu adalah kesejatian dirimu...

wallahu a'lam wastaghfirullah.

2 komentar:

  1. tulisan yang bagus mas bowo..saya pernah ngobrol sama peneliti teroris terdahulu..ya begitu kesannya, mereka justru nampak begitu "kuat" dari berbagai sisi, terutama ya idealisme itu, malah bikin jatuh cinta katanya, hehehe

    BalasHapus
  2. makasih ufi... :)

    nulisnya juga penuh kebingungan... cz ngerasa hidup di dunia yang serba galat, penuh syubhat, dan ketidakjelasan nilai2 hidup.

    mereka, para 'teroris' itu, memang terlihat kuat, cerdas, canggih, karena apa yang ada di kepala mereka. Tapi sayang, mereka orang2 yg frustratif.

    Mereka rela hidup untuk "TIDAK NYAMAN" hanya demi apa yg menjadi cita2 mereka.. beda dengan pemimpin kita, politisi kita, sebagian polisi kita yg pinter nyogok buat masuk akademi itu, yg justru cari kenyamanan.
    mungkin juga kita yang bekerja dari pagi mpe sore untuk korporat, instansi, dsb. gak jelas...

    moga tidak.. ada banyak orang yang bisa kita cintai, dan kita RELA BERKORBAN untuk CINTA itu... paling nggak anak2 atau suami/istri kita. ^_^

    BalasHapus

terimakasih apresiasinya.... :)