Selasa, 02 Maret 2010

Sejumput Kenangan dari Selaksa Cinta Bapak

Dan masih terus teringat kenangan saat badan mungilku di lingkaran gendongan tangan bapak. Ketika itu dengan bangganya saya mengatakan "Golkar, sat!" atas keliru mengatakan "Golkar, sah!"

Bapak selalu mengajak saya ke banyak acara. Mulai dari penghitungan suara di pemilu jaman orba sampai jalan-jalan naik perahu motor ke pulau dari tanjung pasir (jalan2 kok naik perahu? jalan-jalan di perahu juga sih). Bapak selalu menghadirkan pengalaman baru. Kenangan itu mengalir di kemudian hari menjadi hikmah kental dari berbagai macam fluida kepahitan pengalaman hidupnya. Yang pastinya selalu lengket, melekat, dan susah untuk diangkat dari memori.

"Bapakmu itu orang baik. Dia selalu menolong tetangganya, keluarganya. Suka menolong orang-orang. Mungkin satu waktu kamu ditolong orang lantaran kebaikan bapakmu" begitu kata seorang tetangga. Dan banyak orang mengatakan hal serupa untuk selaksa kasih yang ditawarkan bapak kepada kerabat dan sejawatnya.

Dan kebanggaan itu tak terbantahkan karena bapak menjadi punggung, menawarkan senyum ramah khasnya yang familiar itu, juga cerita dari ibu tentang terpaksa menjadi kuli bangunan di Tangerang. Hal lain yang tak kalah pentingnya, bapak sering mendokumentasikan aktivitas menariknya dalam foto--hingga foto pacar-pacarnya. Hmm...

Bapak, beliau juga pernah marah. Dan kemarahan yang terasa adil itu tak pernah sejengkal pun meninggalkan bekas aniaya. Kemarahannya seringkali dalam diam, tapi beribu kesan yang mengalir tersampaikan, mendalam. Meski harus bertahun kami untuk mengerti; ternyata beliau orang yang menghormati keluarganya.

Bapak, kadang kami goreskan sakit di hatinya. Luka yang tidak kami tahu seberapa dalam. Dan melihat beliau menangis. Demi Allah yang menguasai hati kami, beliau memaafkan semburat kedurhakaan anak-anaknya. Memberi maaf dengan pelukan. Sekali dengan air mata...

Hingga sampailah pada satu momen monumental di benak hati saya. Di saat wajah yang selama ini tampak selalu tersenyum ramah kepada sanak kerabatnya semakin memucat. Memutih, dingin, tapi demikian bagus ronanya. Dan mengalirlah air yang bercampur jutaan tetesan perasaanku yang menyertainya untuk terakhir kalinya di wajah bapak. Memandikannya di atas dipan. Tampak ikut lapuk kayunya seiring tangisan dan bismillah kami... Jenazah bapak yang kusisir helai-demi-helai rambutnya, beserta simpuh permohonan ampunan dan pinta maafku di dalamnya.

Tapi tak sedikitpun air melarutkan segenap kebaikan yang beliau pahat, terlihat dari ratusan wajah yang menjadi saksi. Tak mampu angin mengusir keramahan beliau meski sudah dalam kenangan. Dan juga bunga kamboja dan juga tanah yang merah, kebaikan-kebaikan itu nyata dan tak terlupakan.

Doa kami untuk selaksa cinta engkau...
AMIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih apresiasinya.... :)