Jumat, 30 Januari 2009

Wajah Mbok Gudeg

(mode serius:ON)
Masih segar dalam ingatan Saya pengalaman di perempatan jokteng (pojok beteng kraton) waktu subuh. Saya menginjakan kaki di Kota Gudeg untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini beda. Ada harapan membuncah tentang masa depan yang menyenangkan. Saya berniat kuliah di Jogja.

Turun dari bis Damri, Saya diajak paman untuk menikmati nasi gudeg yang dibawa oleh—biasa dipanggil—Mbok. Seorang nenek berusia sekitar 60 tahun itu menyajikan nasi gudeg untuk kami. Kami pun duduk beralas tikar bersama pengunjung lain. Lesehan. Bersama kami, ada juga tukang becak dan beberapa orang berpakaian rapi yang sudah siap sedari subuh untuk bekerja. Suasana yang egaliter. Dinginnya udara pagi dihangatkan pula dengan segelas teh pengikut “sarapan subuh.”

Saya merasakan hari itu adalah sarapan pagi yang tidak biasa. Ada ketenangan sekaligus suasana guyub. Mbok gudeg selalu melayani pelanggannya dengan ramah. Satu demi satu pengunjung ditanya tentang lauk apa yang diinginkan dan diakhiri dengan kata “monggo”. Bahasa jawa halus untuk mempersilahkan orang lain melakukan sesuatu—menikmati gudeg. Sajiannya juga begitu sederhana. Kami makan di atas daun pisang yang beralaskan piring. Nikmat. Suasana yang tak saya dapatkan di kota Jakarta.
Yang paling saya suka dari masakan Mbok Gudeg adalah jangan rambak (sayur kerupuk kulit) yang gurih, ditambah sedikit rasa pedas. Perpaduannya dengan gudegnya itu cocok banget. Apalagi aroma yang keluar ketika hidangan panas memenuhi daun pisang. Kalau saja waktu itu ada Pak Bondan Winarno hampir pasti ia bakal mengomentari dengan khas, mak nyuss!

Inilah yang disukai oleh banyak orang dari suasana Jogja. Selain khasnya rasa gudeg, ada kekhasan lain seperti keramahan, egaliter, suasana yang adem, penuh penerimaan hidup, dan ketenangan. Idealitanya orang Jogja, sesuatu yang bukan sekadar penampilan wisata budaya yang artifisial.

Suasana guyub tapi juga adem itu mungkin tidak akan Anda dapatkan jika berjalan-jalan di sekitar malioboro di siang hari. Kawasan itu sudah terlalu ramai, sumpek, banyak mobil dan motor, juga lebih bising. Kekhasan malioboro sebagai cagar budaya sudah ditelan tingginya Mall Malioboro dan toko-toko. Banyak bangunan-bangunan keangkuhan yang menggantikan aslinya keramahan. Kawasan malioboro ini telah banyak berubah seiring bertambah tuanya kota Jogja. Meskipun begitu, ada sedikit bangunan tua yang masih berdiri.

Namun demikian, tak perlu khawatir kehilangan suasana ramah itu. Datangilah Jogja di waktu muda. Tak perlu mesin waktu untuk kembali, datanglah di saat dini, mungkin di hari libur sekitar selepas subuh. Di waktu itu, Jogja menawarkan wajah ramahnya yang asli. Perhatikanlah denyut aktivitas orang-orang tua seperti Mbok Gudeg yang semoga saja tetap eksis dan semangat diantara penyakit kapitalisme dan materialisme yang menjamur di masyarakat sekarang. Wajah-wajah yang hampir tergusur dan direnggut oleh ‘kebutuhan’ untuk menjadi asing di rumahnya sendiri. Wajah-wajah asli Jogja itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih apresiasinya.... :)