Jumat, 30 Januari 2009

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)

Composed by Michael Heart
Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Wajah Mbok Gudeg

(mode serius:ON)
Masih segar dalam ingatan Saya pengalaman di perempatan jokteng (pojok beteng kraton) waktu subuh. Saya menginjakan kaki di Kota Gudeg untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini beda. Ada harapan membuncah tentang masa depan yang menyenangkan. Saya berniat kuliah di Jogja.

Turun dari bis Damri, Saya diajak paman untuk menikmati nasi gudeg yang dibawa oleh—biasa dipanggil—Mbok. Seorang nenek berusia sekitar 60 tahun itu menyajikan nasi gudeg untuk kami. Kami pun duduk beralas tikar bersama pengunjung lain. Lesehan. Bersama kami, ada juga tukang becak dan beberapa orang berpakaian rapi yang sudah siap sedari subuh untuk bekerja. Suasana yang egaliter. Dinginnya udara pagi dihangatkan pula dengan segelas teh pengikut “sarapan subuh.”

Saya merasakan hari itu adalah sarapan pagi yang tidak biasa. Ada ketenangan sekaligus suasana guyub. Mbok gudeg selalu melayani pelanggannya dengan ramah. Satu demi satu pengunjung ditanya tentang lauk apa yang diinginkan dan diakhiri dengan kata “monggo”. Bahasa jawa halus untuk mempersilahkan orang lain melakukan sesuatu—menikmati gudeg. Sajiannya juga begitu sederhana. Kami makan di atas daun pisang yang beralaskan piring. Nikmat. Suasana yang tak saya dapatkan di kota Jakarta.
Yang paling saya suka dari masakan Mbok Gudeg adalah jangan rambak (sayur kerupuk kulit) yang gurih, ditambah sedikit rasa pedas. Perpaduannya dengan gudegnya itu cocok banget. Apalagi aroma yang keluar ketika hidangan panas memenuhi daun pisang. Kalau saja waktu itu ada Pak Bondan Winarno hampir pasti ia bakal mengomentari dengan khas, mak nyuss!

Inilah yang disukai oleh banyak orang dari suasana Jogja. Selain khasnya rasa gudeg, ada kekhasan lain seperti keramahan, egaliter, suasana yang adem, penuh penerimaan hidup, dan ketenangan. Idealitanya orang Jogja, sesuatu yang bukan sekadar penampilan wisata budaya yang artifisial.

Suasana guyub tapi juga adem itu mungkin tidak akan Anda dapatkan jika berjalan-jalan di sekitar malioboro di siang hari. Kawasan itu sudah terlalu ramai, sumpek, banyak mobil dan motor, juga lebih bising. Kekhasan malioboro sebagai cagar budaya sudah ditelan tingginya Mall Malioboro dan toko-toko. Banyak bangunan-bangunan keangkuhan yang menggantikan aslinya keramahan. Kawasan malioboro ini telah banyak berubah seiring bertambah tuanya kota Jogja. Meskipun begitu, ada sedikit bangunan tua yang masih berdiri.

Namun demikian, tak perlu khawatir kehilangan suasana ramah itu. Datangilah Jogja di waktu muda. Tak perlu mesin waktu untuk kembali, datanglah di saat dini, mungkin di hari libur sekitar selepas subuh. Di waktu itu, Jogja menawarkan wajah ramahnya yang asli. Perhatikanlah denyut aktivitas orang-orang tua seperti Mbok Gudeg yang semoga saja tetap eksis dan semangat diantara penyakit kapitalisme dan materialisme yang menjamur di masyarakat sekarang. Wajah-wajah yang hampir tergusur dan direnggut oleh ‘kebutuhan’ untuk menjadi asing di rumahnya sendiri. Wajah-wajah asli Jogja itu.

Minggu, 25 Januari 2009

Dari Beranda

Alhamdulillah...

Di antara sela waktu dan kesibukan (emang punya kesibukan? Huss!), kesampean juga deh bikin blog. Terbata-bata, tapi syukurlah keinginan telah mengalahkan kebodohan. Satu blog sederhana--pake istilah blogger dot com--"diciptakan."

Bambu Bubrah. Apaan tuh? Gak tau! Selintas aja di pikiran, ketik! Entah kenapa harus Bambu, mungkin juga ia melambangkan kelenturan. Apapun yang diperlakukan sang hidup, ia tetap mengikuti. Tanpa pendirian? Nggak juga. Justru dari situlah ia menemukan kehidupan. Ia tak mudah patah, tak mudah tersungkur di tanah yang berlumpur dan memberatkan. Bambu begitu perkasa dalam fleksibilitas.

Bubrah? kenapa bubrah (hancur, rusak)? Itulah manusia. Ikhtiarnya mampu memecahkan banyak hal. Saya membacanya kemampuan manusia memecahkan banyak masalah. Bahkan untuk bambu yang tak mau tumbang di hadapan angin kehidupan. Manusia punya ikhtiar. Dan inilah blog tercipta... Semoga menjadi ikhtiar bagi kita untuk keluar dari segala masalah.

Akhirnya, di antara semilir angin dan rinai desir bambu yang tertiup, semoga Anda mendapatkan kelegaan dalam penemuan Bambu Bubrah. Survive dalam fleksibilitas, kuat dalam pemecahan. Amin.

salam,



ichsanku